Jumat, 17 Mei 2024

Mengenang Bung Hatta, Pelopor Pemberantasan Korupsi

Oleh Prof. Sri-Edi Swasono

Sejak lama Bung Hatta terusik oleh berkembangnya korupsi di Indonesia. Beliau mengkhawatirkan bahwa korupsi akan dapat “membudaya”. Banyak orang merasa aneh atas kekhawatiran Bung Hatta itu, dan menganggap Bung Hatta berlebih-lebihan. Namun sekarang orang-orang itu boleh menyesal, bahwa ternyata perasaan tajam Bung Hatta 60 tahun yang lalu itu ternyata benar saat ini, korupsi benar-benar membudaya.

 

Pada tahun 2003 masyarakat telah mencemaskan tentang maraknya korupsi di Indonesia, oleh karena itu pada tanggal 9 April 2003 berdirilah “Perkumpulan BHACA”, yaitu suatu perkumpulan yang akan memberikan Bung Hatta Anti Corruption Award kepada pribadi-pribadi yang bersih dari praktek korupsi, yang tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan, menyuap atau menerima suap serta berperan aktif memberikan inspirasi atau mempengaruhi masyarakat dan lingkungannya dalam pemberantasan korupsi. Pendiri-pendiri “Perkumpulan BHACA” antara lain adalah Atika Makarim, Ati Nurbaiti, Clara Juwono, Ilya Revianti Sunarwinadi, Indira Sugondo, Ken Sudarto (Alm), Kitty Soegondo-Kramadibrata, M. Harjono Kartohadiprodjo, Natalia Soebagjo, Ratmini Soedjatmoko, Shanti Poesposoetjipto, Sharmi Ranti, Soedarpo Sastrosastomo (Alm), Theodore Permadi Rachmat, dan Teten Masduki.

Perkumpulan ini tentu minta izin kepada Keluarga Bung Hatta untuk menggunakan nama Bung Hatta sebagai award. Keluarga Bung Hatta memberi izin, bahkan menghargai dan mendukung prakarsa ini.

Memang Bung Hatta adalah tokoh Bapak Bangsa yang memberi teladan bagaimana berperilaku jujur, baik dalam hubungan pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Bung Hatta juga sepanjang hidupnya tidak pernah berhenti melawan setiap bentuk penyimpangan kekuasaan, meskipun dengan itu beliau harus menanggung resiko yang tidak ringan. Banyak alasan mengapa Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI 1956 (ditulis oleh Meutia Hatta, akan segera diedarkan oleh Penerbit KOMPAS), salah satu di antaranya adalah karena terjadi pembiaran terhadap korupsi, tak terkecuali kekecewaannya terhadap pemberian grasi kepada seorang Menteri narapidana yang telah diputuskan oleh Pengadilan sebagai pelaku korupsi.

Pada akhir pidato pengukuhannya sebagai penerima Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada 27 November 1956, Bung Hatta menyampaikan kekecewaannya atas praktik kepartaian yang mengakibatkan bahwa kekuasaan yang sebenarnya tidak pada Pemerintah yang memerintah, melainkan pada dewan partai, di mana Pemerintah diturunkan derajatnya sekedar sebagai orang-orang suruhan partai. Apa yang dicemaskan Hatta tahun 1956 ini berkelanjutan, bahwa Presiden RI sekarang ini juga dikatakan oleh pimpinan partainya sebagai “petugas partai” belaka. Pemerintah Negara tereduksi sebagai kekuasaan sebuah partai. Penyalahgunaan oleh partai inilah yang mendorong korupsi.

Lebih ditegaskan lagi dalam buku Bung Hatta yang berjudul Demokrasi Kita, yang diterbitkan oleh Panji Masyarakat pimpinan Buya HAMKA pada 1960, yang membuat marah Bung Karno dan menyatakan buku itu sebagai buku illegal dan dilarang beredar. Dalam buku Bung Hatta ini kecuali mengeritik Bung Karno yang menyelenggarakan pemerintahan Negara secara diktatur (dictatuur), Bung Hatta mengatakan karena sistem dan penyelenggaraan pemerintahan negara membiarkan terjadinya korupsi. Bung Hatta menulis di buku ini:

“…bagi beberapa golongan menjadi partai pemerintah berarti ‘membagi rezeki’ … golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari partainya untuk memberi keuntungan bagi partainya. Seorang menteri perekonomian misalnya menjalankan tugasnya itu dengan member lisensi dengan pembayaran yang tertentu untuk kas partainya… atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importir, orang separtai dengan dia didahulukannya… seringkali keanggotaan partai menjadi ukuran (untuk jabatan tertentu), bukan berdasar ‘the right man in the right place’… akhirnya masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan…suasana politik semacam itu member kesempatan kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi dan manusia profetir maju ke muka, partai-partai politik ditungganginya untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbulah anarki dalam politik dan ekonomi. kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela…” (Demokrasi Kita – 1960, cetakan 1966, hlm. 14-15).

Bukan main, itu dikatakan Bung Hatta 55 tahun yang lalu, dan ini persis terjadi dalam 15 tahun terakhir ini. Reformasi memang menjadi deformasi.

Perkumpulan BHACA 2003-2013 telah menetapkan tokoh-tokoh di bawah ini sebagai penerima Bung Hatta Anti Corruption Award, yaitu antara lain: Erry Riyana Hardjapamekas, Syamsul Qamar, Gamawan Fauzi, Saldi Isra, Amien Sunaryadi, Busyro Muqoddas, Sri Mulyani Indrawati, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Nur Pamudji. Banyak kritik disampaikan kepada Keluarga Bung Hatta bahwa nama beberapa orang dalam jajaran ini yang tidak pas untuk menerima award yang mencerminkan kesucian, kejujuran dan kebersihan sebagaimana Bung Hatta. Namun tentu ini salah alamat. Keluarga Bung Hatta memberi izin penggunaan nama Bung Hatta untuk award anti korupsi, tetapi sebuah panitia pada Perkumpulan BHACA-lah yang menentukan pemilihan tokoh-tokoh yang dianggap anti korupsi.

Mari kita mendukung segala kegiatan untuk melawan korupsi. Demikian kali ini kita memperingati Hari Kelahiran Bung Hatta 12 Agustus, tokoh publik yang belum ada duanya di Indonesia.

 

*Guru Besar Universitas Indonesia, Ketum Majelis Luhur Tamansiswa

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru