Sabtu, 18 Mei 2024

Selamat Hari Kartini, Pak Presiden

Oleh : Lilik Dian Ekasari*

 

HABIS gelap terbitlah terang! Itu tempo dulu, ketika Kartini mengelu-elukan perjuangan emansipasi kaum perempuan di Tanah Air. Namun, situasi kekiniannya cukup berbeda. Utamanya, bagi sebagian besar para bidan pejuang yang sampai saat ini belumlah mendapatkan hak kepastian kerja. Celakanya, bidan desa di seluruh pelosok tanah air dibelenggu diskriminasi dengan status kerja Pegawai Tidak tetap (PTT).

 

Bekerja di sektor pemerintahan, dengan mengabdi sampai sembilan tahun, bukannya mendapatkan kepastian kerja sebagai pegawai tetap negara, malah diperpanjang masa kontrak kerjanya, dan memulai kembali masa bakti di nol tahun. Habis masa pengabdian kerja sembilan tahun, suara Kartini menggema berkebalikannya, tetap saja, habis gelap terbitlah kegelapan!

Momentum Hari Peringatan Kartini di tahun ini bagi penulis, mengingatkan kembali bagi perjuangan kaum perempuan berprofesi bidan desa, bagi perempuan di desa-desa, bahkan bukan sekedar membantu dan menangani prosesi persalinan semata. Hampir semua keluhan sakit penyakit, akses paling cepat dan  mudah, jelas-jelas berkoneksi dengan bidan desa. Ketika matahari pagi mulai berjinjit dari peraduan malamnya, di desa-desa tengah bersiap posyandu setiap paginya. Para ibu dan balita berbondong, bersama bidan desa, dilakukan imunisasi, penyuluhan dan antisipasi gizi buruk, serta pemberian vitamin A, pada anak. Kalau tidak pagi hari, menjelang sore, kelas ibu hamil langsung dimentori bidan desa, senam kesehatan dan kesegaran jasmani bagi para ibu hamil, berjalan berkelanjutan.

Bidan desa yang masih bernasib pegawai tidak tetap terus menyusuri hari, dan terjalnya jalan berliku. Desa-desa terpencil dan sangat terpencil dilalui para pengabdi ini tanpa kenal lelah. Meski tak tahu, kapan kepastian kerja diperoleh dari negara Di lain kesempatan, penulis ingin memaparkan lebih detil, tugas pokok dan fungsi serta medan kerja bidan desa yang dilalui.

Negara semakin terkesan memunggungi nasib bidan desa berlabel PTT. Padahal rakyat yang membutuhkan tenaga kesehatan (bidan desa). Program strategis nasional di bidang kesehatan tentulah dikerjakan bidan desa di lapangan. Satu tontotan miris jika ingin ditelisik, antara peran dominan bidan desa, dan pemenuhan tingkat derajat kesehatan nasional, yang turut dipanggul bidan desa selama ini. Target profesi tidak berkorelasi postif dengan keberadaan dan keberlangsungan bidan desa dari pegawai tidak tetap ke pegawai tetap negara. Di sinilah kebutuhan bersama perlu dihadirkan. Negara seyogyanya berperan aktif menjaga tingkat kebutuhan bidan desa di pelosok dan jaminan kepastian kerjanya, agar taraf kesejahteraan juga berlangsung merata hingga ke desa-desa sangat terpencil.

Didiskriminasi

Keseharian bidan desa, memang nyaris tak ada bedanya. Seragam dan batik Korpri, diberi dan dipakai membungkus aroma diskriminatif setiap hari. Ada bidan desa berlabel PTT, dan ada pula bidan desa sudah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebut saja beberapa contohnya, menurut pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, bahwa pekerja wanita berhak atas cuti bersalin 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

 

Berbeda bunyi Permenkes No. 7 Tahun 2013, tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan Pegawai Tidak Tetap, pada pasal 14 ayat (1), yang hanya mengatur hak cuti bersalin “Bidan sebagai PTT berhak “memperoleh cuti bersalin selama 40 (empat uluh) hari kalender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah bertugas paling sedikit selama 1 (satu) tahun”. Bidan desa yang menolong ibu melahirkan, justru hanya mendapatkan hak cuti melahirkan sebanyak 40 hari kerja. Ironis bukan?

Belum lagi soal gaji. Pertemuan penulis bersama Menteri Kesehatan Nilla F Moeloek, di kantor Kemenkes, pada 5 November 2014 baru-baru saja, disampaikan oleh Ibu Menteri bahwa gaji bidan desa PTT Pusat, dibayarkan setiap tanggal dua, bulan berjalan. Penerimaan gaji tak berslip gaji ini, selalu datangnya terlambat pula. Bahkan bisa sampai tanggal 10, dan kenyataan di lapangan harus sesegera menuai koreksi dan perbaikan.

Elaborasi permasalahan bidan desa PTT Pusat, telah disampaikan kepada Ibu Menteri. Pertemuan 5 November 2014, membuahkan hasil, pada 5 Januari 2015, berupa Surat Rekomendasi Menteri Kesehatan tentang pengangkatan bidan desa PTT Pusat sebagai PNS. Yang ditujukan kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi. Unfortunately, sampai artikel ini ditulis, surat tersebut sama sekali belum mendapatkan tanggapan apa-apa yang diharapkan dari Bapak Menteri Yuddy Chrisnandi.

Bidan desa PTT tidaklah berpangku tangan. Sejak peristiwa aksi besar-besaran di Ibukota, yang dilakoni bidan desa PTT Pusat sepanjang tahun 2013, bidan desa PTT Pusat telah membentuk wadah aspirasi perjuangan, yaitu Forum Bidan Desa PTT (Pusat) Indonesia. Kini, perjuangan untuk 42 ribu orang bidan desa PTT Pusat, tengah dilakukan. Dari nol kilometer di tanah Rencong, hingga pedalaman Papua, di ujung Timur.

Bagai menyusun puzzle kehidupan. Bidan desa di berbagai daerah pelosok akhirnya dapat dikumpulkan. Perjuangan penghapusan diskriminasi bidan desa PTT membentuk rangkaian lompatan peristiwa. ada saja sisi uniknya. Sebut saja Bidan Lastri rekan kami dari Jawa Timur, Ia berkesempatan menemui Presiden RI ke 7, Joko Widodo (sebelum pelantikan), di Balaikota DKI Jakarta, 23 September 2014, bersama perwakilan 17 provinsi Forum Bidan Desa PTT ketika itu. Dari kejujurannya, Lastri mengakui baru pertama kali datang ke Jakarta seumur hidupnya, dan langsung bertemu Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo.

Menuliskan kisah Lastri di sini, cukup menggetarkan ingatan penulis. Dalam pertemuan bersama Pak Jokowi, Bapak Presiden berucap, akan memelajari permasalahan ini. Tujuh bulan telah berlalu sejak peristiwa mengharukan itu. Perjuangan Forum Bidan Desa PTT (Pusat) Indonesia, tetap berupaya untuk menemui Presiden kembali. Keputusan Presiden Joko Widodo, amat ditunggu, khususnya di Hari Bidan Sedunia, pada tanggal 5 Mei 2015.

Apalagi, kajian data, serta kelengkapan permasalahan, dan solusi, tentang makna strategisnya keberadaan bidan desa PTT Pusat, agar dijadikan Pegawai Tetap Negara, sudah di meja dua lembaga kepresidenan RI. Yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sejak 18 Februari 2015, dan Kantor Staf Presiden, sejak 31 Maret 2015, tempo hari. Demi rasa keadilan, dan kebutuhan rakyat banyak, semoga artikel sederhana ini, dapat tergenggam di tangan Bapak Presiden Joko Widodo.

 

 

*Penulis Ketua Umum Forum Bidan Desa PTT (Pusat) Indonesia

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru