Jumat, 29 Maret 2024

Mengkritisi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK

Gedung KPK (Komisi Pemberantasan Kourpsi. (Ist)

Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK menjadi salah satu cara KPK melakukan pemberantasan korupsi. Operasi ini menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat. Riswan Lapagu, SH, Ketua KPKP (Komite Pemantau Kebijakan Publik) menuliskannya di Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Riswan Lapagu,  SH.

OPERASI tangkap tangan atau OTT  mulai dipopulerkan oleh KPK pada sekitar tahun 2005. KPK sendiri didirikan pada 2002 berdasarkan  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penggunaan istilah OTT  oleh KPK menuai polemik terutama di sebagian praktisi hukum dan politisi di Senayan khususnya.  Prof. Romli Atmasasmita  Guru Besar Emeritus Unpad  misalnya, berpendapat bahwa OTT yang sering didahului dengan penyadapan tentu dalam praktik lebih mudah daripada proses penyelidikan yang seharusnya dilakukan penyelidik KPK.

Mengapa? Karena setelah laporan masyarakat, maka penyelidik harus melaksanakan pengumpulan bukti dan keterangan (pulbaket) yang tidak mudah sampai memperoleh bukti permulaan yang cukup (bukperckp).

Penyadapan lanjut Romli memudahkan KPK untuk mengetahui siapa saja, dimana, dan waktu (akan) terjadi “transaksi”, paling tidak KPK telah memiliki data tentang locus  dan tempus delicti  dengan mudah serta tinggal memperoleh barang bukti saja yang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan  saksi-saksi atau calon tersangka.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, menilai aksi OTT KPK murni operasi intelijen.  ”Kasus OTT dalam hukum tidak akan pernah terjadi kapan peristiwa pidana itu. Coba cari pakar hukum. Saya ‘hajar’ soal ini kalau dia tidak ngerti, tutup sekolah hukum itu,”

Fahri menyakini bahwa sejumlah kasus OTT yang terjadi di lembaga DPR itu bagian dari skenario Intelejen. Dan, skenario ini dipakai oleh KPK tujuannya siapa yang digarap dan siapa yang harus diselamatkannya. Dari  maraknya OTT oleh KPK karena kegagalan negara dalam pemberantasan korupsi.

Memang bila merujuk pada pasal 18 ayat 2  dan pasal 1 butir 19 KUHAP,  tertangkap tangan (TT) dan penangkapan adalah dua istilah yang sangat berbeda. Demikian pula halnya pengertian  TT dan penangkapan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online memiliki makna tidak sama. Kondisi inilah yang dikuatirkan sejumlah ahli hukum dapat mengacaukan hukum acara.

Namun pada tulisan pendek ini penulis tidak mau masuk  lebih  mendalam mengulas polemik  apakah legal atau ilegal OTT yang dilakukan KPK selama ini.  Penulis hanya ingin  mengungkap “keberhasilan” KPK dalam membuka konspirasi sejumlah kepala daerah dan anggota DPR yang diduga kuat  akan/telah melakukan tindak pidana korupsi atau tipikor.

KPK Di Kritik, OTT Tetap Jalan

Meski di kritik, tapi tidak sedikit juga pihak yang mendukung aksi OTT. Oleh sebab itu  KPK tetap  menempatkan OTT  hingga sekarang ini sebagai salah satu aktivitas strategis bagi KPK dalam banyak kasus pemberantasan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi/penyelenggara negara maupun pihak nonpemerintah/swasta.

Awal pertama OTT terjadi pada kasus (alm) Mulyana W Kusumah (MWK) dalam kasus KPU. Diawali dengan operasi intelejen KPK bersama auditor BPK,  MWK ditangkap di kamar 609 di Hotel Ibis Jakarta pada 8 April 2005 sekitar pukul 20.00 Wib, dengan barang bukti  uang Rp 150 juta. Pimpinan KPU lainnya berturut-turut di ciduk kemudian hingga diadili sampai di pengadilan.

Mungkin terinspirasi dari kisah sukses pada penanganan kasus MWK/KPU itu, KPK makin giat melakukan OTT  hingga sekarang. Penulis mencatat sampai dengan 21 Juli 2018, KPK sudah menangkap dan menahan empat penyelenggara negara yaitu tiga orang kepala daerah dan satu anggota DPR plus sejumah orang swasta, melalui OTT.

Keempat orang abdi negara yang terjaring OTT pada Juli 2018 ini ialah :

(1)  Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan (2) Ahmadi, Bupati Kabupaten Bener Meriah Aceh. Mereka berdua terjaring OTT dalam satu waktu bersamaan pada Selasa, tanggal 3 Juli. Kemudian (3) Anggota Komisi VII DPR RI dari Partai Golkar, Eni Maulani Saragih (EMS)  pada Jumat , 13 Juli. Dan (4) Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap. Ia terjaring  OTT KPK pada Selasa, 17 Juli 2018.   

Kemudian penulis melakukan  penelusuran pada sejumah media pemberitaan online, untuk mengetahui ada berapa banyak penyelenggara negara yang ditangkap KPK melalui OTT selama kurun waktu Januari hingga Juli 2018.

Penulis memperoleh data sebagai berikut,

1. Dari Januari hingga Juli 2018, KPK melalui operasi senyap atau OTT berhasil menangkap 14 orang penyelenggara negara plus puluhan orang nonpemerintah/swasta.

2. Dari 14 orang penyelenggara negara, pelakunya mayoritas adalah Kepada Daerah. Dengan rincian, 10 orang Bupati, 2 orang Gubernur (Jambi dan Aceh), 1 Calon Gubernur (Sultra) dan 1 anggota DPR RI.  Baca : Daftar OTT KPK dari Januari hingga Juli 2018.

3. Ada satu pelaku merupakan bapak dan anak yaitu Calon kuat Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) dan anaknya bupati Kendari. Lalu terdapat dua orang perempuan yaitu Bupati Subang dan Anggota Komisi VII DPR RI.

Berikut Daftar OTT KPK dari Januari hingga Juli 2018 :

1. Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan Abdul Latif, pada Rabu (3/1).

2. Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad pada Selasa (23/1)

3. Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan. Penetapan tersangka diumumkan KPK pada Rabu (31/1).

4. Gubernur Jambi Zumi Zola. Ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (2/2).

5. Bupati Jombang Nyono Suharli dalam OTT pada Sabtu (3/2).

6. Bupati Ngada Marianus Sae. Ia ditangkap KPK Minggu (11/2).

7. Bupati Subang Imas Aryumningsih pada Rabu (14/2).

8. Cagub Provinsi Lampung, Mustafa yang ditangkap atas jabatan sebagai Bupati Lampung Tengah. Mustafa terjerat dalam OTT KPK, pada Kamis (16/2) malam.

9. Calon kuat Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun ditangkap KPK, tepatnya Rabu (28/2) di Kendari. Dalam OTT ini KPK seakan mendapat bonus menambah deretan kepala daerah yang terjerat korupsi.

10. Yaitu Bupati Kendari Adriatma Dwi Putra yang merupakan anak dari Asrun pun ikut ditangkap.

11. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan (12) Ahmadi, Bupati Kabupaten Bener Meriah Aceh pada Selasa (3/7).

13. Anggota Komisi VII DPR RI dari Partai Golkar, Eni Maulani Saragih (EMS) pada Jumat (13/7).

14. Selasa, 17 Juli 2018, KPK menggelar OTT di dua tempat yaitu Jakarta dan Labuhanbatu, Sumatera Utara. Dari lima orang yang dibekuk, satu diantaranya adalah Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap.

15. KPK menangkap kepala Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Wahid Husen. Penangkapan dilakukan pada Sabtu (21/7) sekitar pukul 00.00 WIB

OTT Dan Efek Jera

Berkaca pada perkara-perkara tipikor hasil OTT, selalu KPK dimenangkan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Bahkan pada beberapa perkara tipikor, terdakwa di vonis/memperoleh putusan pengadilan/MA dengan hukuman maksimum hingga ada yang di cabut hak politiknya. KPK pun tak pernah surut menggelar OTT sejak kasus KPU/MWK pada 2005 sampai saat ini.

Dari serangkaian indikator tersebut di atas, ternyata belum mampu memberikan efek jera kepada para pejabat/penyelenggara negara agar tidak korupsi.

Realitas ini melahirkan sederet pertanyaan di publik, antara apakah korupsi sudah menjadi “kultur” buat sebagian kalangan pejabat/masyarakat sehingga sudah sulit dihilangkan ? Apakah prilaku koruptif di kalangan penyelenggara negara khususnya, disebabkan oleh lemahnya pengawasan internal negara/pemerintah ? Apakah sebagai dampak negatif dari sistem politik indonesia saat ini yang sangat mahal ? Wallahu ‘Alam. Saya harap ada pakar yang mau membuat riset untuk menemukan jawaban yang rasional atas pertanyaan publik itu.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru